Malam yang dingin. Ketika rintik hujan mulai turun, di jendela kamar aku termenung, melihat hujan yang perlahan mulai menyerbu tanah kering.
Sejenak ku perhatikan hujan yang mulai membasahi kaca jendela. Pikiranku mulai melayang jauh, seakan kembali ke masa lalu. Masa dimana aku menyukai hujan, tapi sekarang benci, sebab hujan selalu mengingatkanku akan kenangan masa lalu.
Kenangan masa lalu dimana aku sangat menikmati hujan, karena dirimu. Dirimu yang selalu berkata, hujan itu indah. Tapi sampai sekarang aku tidak mengerti, apanya yang indah dari hujan? Dirimu pula yang berkata, "hujan itu menyenangkan". Apanya yang menyenangkan? Hujan hanya membuat suasana menjadi dingin.
Dulu, aku suka hujan karena dirimu. Karena saat hujan, kamu akan bercerita banyak hal, entah itu saat kita bersama ataupun hanya melalui pesan singkatmu. Dulu, saat hujan, kamu selalu berseru, "hujaaaaan, aku merindukanmu". Dulu, saat hujan, kamu selalu mengirimiku pesan singkat, "keluarlah, langit sedang menangis bahagia, hujan menyambut hari kita".
Aku selalu berpikir, kenapa kamu selalu suka hujan? Tapi itu hanya terpintas dalam pikiranku. Aku tak ingin menanyakan tentang hujan terlalu dalam kepadamu. Sebab, kau pasti menjawab, "nikmati saja, kau pasti tahu jawabannya". Tapi, aku tak pernah bisa mendapatkan kenikmatan dari hujan, tapi aku selalu mendapatkan senyummu saat hujan, dan aku suka itu.
Tapi sekarang aku membenci hujan. Kenapa? Karena hujan, kau pergi meninggalkanku selamanya. Karena hujan, aku harus melihat darahmu yang mengalir bersama hujan. Karena hujan pula, aku harus menangis. Yah, hujan waktu itu, hujan 2 tahun yang lalu, hujan yang membuat motormu harus jatuh. Yah, kecelakaan 2 tahun lalu, membuatku harus kehilanganmu. Itu semua sebab hujan. Sampai sekarang, aku sangat membenci hujan, hujan yang merenggut kebahagiaanku.
Thisisme:)
Sabtu, 05 November 2016
Hujan, aku membencimu.
Sabtu, 29 Oktober 2016
Ibu, aku tidak ingin membuatmu khawatir, tapi cobalah mengerti inginku juga.
Ibu, aku menyayangimu. Di usiamu yang sudah menginjak 50 tahun, aku tau bagaimana khawatirmu padaku. Anak perempuan terakhirmu ini.
Ibu, aku tau, aku putri terakhir di keluarga ini, yang bisa di bilang sudah satu-satunya, sebab kakak sudah berumah tangga. Itu sebabnya, engkau sangat khawatir akan diriku.
Tapi ibu, aku juga ingin menggapai mimpiku. Aku ingin menjelajah masa mudaku. Ibu, aku sudah 20tahun, bukan lagi usia anak kecil. Aku sudah dewasa ibu, putri kecilmu yang dulu ini sudah dewasa. Aku sudah tidak bisa lanjutkan pendidikanku. Di usiaku yang segini, aku sudah harus mencari pekerjaan yang sesuai untukku. Aku tidak seperti mereka yang bisa kuliah. Tidak, aku tidak menyalahkan perekonomian keluarga kita. Tapi aku hanya ingin ibu mengerti, aku juga punyai mimpi. Pekerjaan bukan hanya tentang uang ibu, pekerjaan tentang bagaimana hati bisa sesuai dengan keadaan tempat kerja.
Sekarang aku sudah bekerja, ditempat yang engkau pilihkan. Bukan aku yang memilih, tapi engkau. Ibu, aku tidak suka tempat ini, aku tidak suka pekerjaan ini. Tapi, kau selalu memintaku untuk bertahan. Bukankah aku yang melakukan pekerjaan ini? Ibu, aku menghargai usahamu untuk mencarikanku pekerjaan. Tapi sungguh, aku tidak bisa bertahan lebih lama di tempat ini.
Ibu, mungkin, untuk urusan pendidikan engkau yang memilih, tapi untuk urusan pekerjaan dan mimpiku, aku tidak bisa menyerahkan padamu.
Ibu, bisakah kau mengerti? Aku pernah meninggalkanmu untuk sebuah pekerjaan yang sangat aku cintai, tapi aku harus kembali demi untuk tidak meninggalkanmu. Sekarang, dengan sangat berat hati, aku tidak bisa menuruti inginmu untuk melanjutkan pekerjaan yang sangat menyakitkan hati ini. Maaf ibu, untuk sekali ini, aku tidak bisa patuh padamu. Tapi, percayalah, aku menyayangimu.
Selasa, 25 Oktober 2016
Hujan waktu itu.
Kau ingat ketika hujan waktu itu? Waktu itu, hujan tiba tiba turun deras. Dengan motor maticmu yang kita kendarai berdua, kau tancap gas untuk menghindari hujan. Tapi percuma, hujan semakin mengejar kita. Dan kamu melihat emperan toko tak berpenghuni, kau bilang "berteduh disana ya?" Tanpa menunggu jawabanku, kau langsung membawa motormu di bawah emperan toko itu. Sambil tertawa dan mulut bergetar kedinginan, kau bilang "haha dingin". Kemudian kita bercanda, membicarakan hal-hal konyol, sambil berharap hujan cepat reda. Tiba-tiba candaan kita terhenti, mendadak hening. Entahlah, mungkin kita sudah lelah bercanda, dan haus karna tawa. Sepersekian menit kita berada dalam keheningan hujan, dan kau tiba-tiba berkata, "aku akan merindukan saat-saat hujan seperti ini bersamamu". Dengan santai aku hanya menjawab, "ya, tentu saja. Hujan yang membuat kita jadi seperti manusia terlantar". Kamu kembali tertawa dan kembali membuat lelucon lelucon yang kadang garing. Ah, aku rindu saat-saat itu. Sekarang aku paham, apa yang kau katakan waktu itu. Ternyata, kau akan pergi. Menghilang tanpa memberiku kabar. Tepat seminggu setelah hujan itu, kau berpamitan untuk meninggalkan kota ini. Dan kemudian, entah kau dimana, semua menghilang. Masih ingatkah kau disana? Tentang hujan yang menahan waktu untuk kita lebih lama bersama.
Minggu, 23 Oktober 2016
Berhentilah, sejenak saja
Aku sudah mulai lelah mengejarmu. Kamu berlari begitu kencang. Disini, di tempat terakhir ku berhenti, aku menunggumu. Menunggu jika kamu mau sekedar berhenti dan menyapaku. Tunggu, ku rasa kamu berhenti disana, dan berbalik ke arahku. Aku mulai bingung, ah kurasa kamu akan menyapaku kali ini. Hatiku sudah berdebar, senyum lebar tak mampu lagi ku pendam. Aku merasa sangat bahagia. Perlahan jarakmu mulai mendekat padaku. Dan, kini kamu sudah di hadapanku, tapiiii, tunggu, kamu hanya menoleh, dan berjalan lagi. Tidak, kamu tidak menghampiriku, tapi kamu menghampiri wanita di ujung sana, dan kemudian mengajaknya berlari di sampingmu. Ah, hatikuu, kenapa sakit rasanya. Air mata tibatiba menetes perlahan. Disini, di tempat terakhirku berhenti, akhirnya aku menyerah, aku tidak mampu lagi berlari. Kakiku terasa lemas, seluruh tubuhku tak mampu kugerakkan. Hanya tangis yang mampu mengungkapkan. Sekali lagi, kamu menancapkan luka itu.