Sabtu, 05 November 2016

Hujan, aku membencimu.

Malam yang dingin. Ketika rintik hujan mulai turun, di jendela kamar aku termenung, melihat hujan yang perlahan mulai menyerbu tanah kering.
Sejenak ku perhatikan hujan yang mulai membasahi kaca jendela. Pikiranku mulai melayang jauh, seakan kembali ke masa lalu. Masa dimana aku menyukai hujan, tapi sekarang benci, sebab hujan selalu mengingatkanku akan kenangan masa lalu.
Kenangan masa lalu dimana aku sangat menikmati hujan, karena dirimu. Dirimu yang selalu berkata, hujan itu indah. Tapi sampai sekarang aku tidak mengerti, apanya yang indah dari hujan? Dirimu pula yang berkata, "hujan itu menyenangkan". Apanya yang menyenangkan? Hujan hanya membuat suasana menjadi dingin.
Dulu, aku suka hujan karena dirimu. Karena saat hujan, kamu akan bercerita banyak hal, entah itu saat kita bersama ataupun hanya melalui pesan singkatmu. Dulu, saat hujan, kamu selalu berseru, "hujaaaaan, aku merindukanmu". Dulu, saat hujan, kamu selalu mengirimiku pesan singkat, "keluarlah, langit sedang menangis bahagia, hujan menyambut hari kita".
Aku selalu berpikir, kenapa kamu selalu suka hujan? Tapi itu hanya terpintas dalam pikiranku. Aku tak ingin menanyakan tentang hujan terlalu dalam kepadamu. Sebab, kau pasti menjawab, "nikmati saja, kau pasti tahu jawabannya". Tapi, aku tak pernah bisa mendapatkan kenikmatan dari hujan, tapi aku selalu mendapatkan senyummu saat hujan, dan aku suka itu.
Tapi sekarang aku membenci hujan. Kenapa? Karena hujan, kau pergi meninggalkanku selamanya. Karena hujan, aku harus melihat darahmu yang mengalir bersama hujan. Karena hujan pula, aku harus menangis. Yah, hujan waktu itu, hujan 2 tahun yang lalu, hujan yang membuat motormu harus jatuh. Yah, kecelakaan 2 tahun lalu, membuatku harus kehilanganmu. Itu semua sebab hujan. Sampai sekarang, aku sangat membenci hujan, hujan yang merenggut kebahagiaanku.

Sabtu, 29 Oktober 2016

Ibu, aku tidak ingin membuatmu khawatir, tapi cobalah mengerti inginku juga.

Ibu, aku menyayangimu. Di usiamu yang sudah menginjak 50 tahun, aku tau bagaimana khawatirmu padaku. Anak perempuan terakhirmu ini.
Ibu, aku tau, aku putri terakhir di keluarga ini, yang bisa di bilang sudah satu-satunya, sebab kakak sudah berumah tangga. Itu sebabnya, engkau sangat khawatir akan diriku.
Tapi ibu, aku juga ingin menggapai mimpiku. Aku ingin menjelajah masa mudaku. Ibu, aku sudah 20tahun, bukan lagi usia anak kecil. Aku sudah dewasa ibu, putri kecilmu yang dulu ini sudah dewasa. Aku sudah tidak bisa lanjutkan pendidikanku. Di usiaku yang segini, aku sudah harus mencari pekerjaan yang sesuai untukku. Aku tidak seperti mereka yang bisa kuliah. Tidak, aku tidak menyalahkan perekonomian keluarga kita. Tapi aku hanya ingin ibu mengerti, aku juga punyai mimpi. Pekerjaan bukan hanya tentang uang ibu, pekerjaan tentang bagaimana hati bisa sesuai dengan keadaan tempat kerja.
Sekarang aku sudah bekerja, ditempat yang engkau pilihkan. Bukan aku yang memilih, tapi engkau. Ibu, aku tidak suka tempat ini, aku tidak suka pekerjaan ini. Tapi, kau selalu memintaku untuk bertahan. Bukankah aku yang melakukan pekerjaan ini? Ibu, aku menghargai usahamu untuk mencarikanku pekerjaan. Tapi sungguh, aku tidak bisa bertahan lebih lama di tempat ini.
Ibu, mungkin, untuk urusan pendidikan engkau yang memilih, tapi untuk urusan pekerjaan dan mimpiku, aku tidak bisa menyerahkan padamu.
Ibu, bisakah kau mengerti? Aku pernah meninggalkanmu untuk sebuah pekerjaan yang sangat aku cintai, tapi aku harus kembali demi untuk tidak meninggalkanmu. Sekarang, dengan sangat berat hati, aku tidak bisa menuruti inginmu untuk melanjutkan pekerjaan yang sangat menyakitkan hati ini. Maaf ibu, untuk sekali ini, aku tidak bisa patuh padamu. Tapi, percayalah, aku menyayangimu.

Selasa, 25 Oktober 2016

Hujan waktu itu.

Kau ingat ketika hujan waktu itu? Waktu itu, hujan tiba tiba turun deras. Dengan motor maticmu yang kita kendarai berdua, kau tancap gas untuk menghindari hujan. Tapi percuma, hujan semakin mengejar kita. Dan kamu melihat emperan toko tak berpenghuni, kau bilang "berteduh disana ya?" Tanpa menunggu jawabanku, kau langsung membawa motormu di bawah emperan toko itu. Sambil tertawa dan mulut bergetar kedinginan, kau bilang "haha dingin". Kemudian kita bercanda, membicarakan hal-hal konyol, sambil berharap hujan cepat reda. Tiba-tiba candaan kita terhenti, mendadak hening. Entahlah, mungkin kita sudah lelah bercanda, dan haus karna tawa. Sepersekian menit kita berada dalam keheningan hujan, dan kau tiba-tiba berkata, "aku akan merindukan saat-saat hujan seperti ini bersamamu". Dengan santai aku hanya menjawab, "ya, tentu saja. Hujan yang membuat kita jadi seperti manusia terlantar". Kamu kembali tertawa dan kembali membuat lelucon lelucon yang kadang garing. Ah, aku rindu saat-saat itu. Sekarang aku paham, apa yang kau katakan waktu itu. Ternyata, kau akan pergi. Menghilang tanpa memberiku kabar. Tepat seminggu setelah hujan itu, kau berpamitan untuk meninggalkan kota ini. Dan kemudian, entah kau dimana, semua menghilang. Masih ingatkah kau disana? Tentang hujan yang menahan waktu untuk kita lebih lama bersama.

Minggu, 23 Oktober 2016

Berhentilah, sejenak saja

Aku sudah mulai lelah mengejarmu. Kamu berlari begitu kencang. Disini, di tempat terakhir ku berhenti, aku menunggumu. Menunggu jika kamu mau sekedar berhenti dan menyapaku. Tunggu, ku rasa kamu berhenti disana, dan berbalik ke arahku. Aku mulai bingung, ah kurasa kamu akan menyapaku kali ini. Hatiku sudah berdebar, senyum lebar tak mampu lagi ku pendam. Aku merasa sangat bahagia. Perlahan jarakmu mulai mendekat padaku. Dan, kini kamu sudah di hadapanku, tapiiii, tunggu, kamu hanya menoleh, dan berjalan lagi. Tidak, kamu tidak menghampiriku, tapi kamu menghampiri wanita di ujung sana, dan kemudian mengajaknya berlari di sampingmu. Ah, hatikuu, kenapa sakit rasanya. Air mata tibatiba menetes perlahan. Disini, di tempat terakhirku berhenti, akhirnya aku menyerah, aku tidak mampu lagi berlari. Kakiku terasa lemas, seluruh tubuhku tak mampu kugerakkan. Hanya tangis yang mampu mengungkapkan. Sekali lagi, kamu menancapkan luka itu.

Maaf, aku butuh waktu.

Bagiku, Cinta bukan hanya perkara memiliki. Bukan pula hanya perkara jantung yang tiba-tiba berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Cinta adalah bagaimana membuat hati bisa merasa nyaman saat tersebut namanya. Bagaimana reaksi hati yang merasa bahagia saat berada didekatnya. Tentang senyuman yang selalu meneduhkan hati. Tentang bagaimana memupuk kepercayaan untuk hati masing-masing. Juga, untuk perasaan sayang yang tidak egois.

Jelas sekali, perkara cinta tidaklah mudah. Harus ada pendekatan yang lebih untuk menumbuhkannya. Lalu, bagaimana dengan mereka yang bilang tentang “jatuh cinta pada pandangan pertama”? bagiku, itu tidak ada, itu bukan cinta, tapi itu hanya suka. Cinta dan suka itu sangat jauh perbedaannya.

Maka dari itu, aku butuh waktu untuk bisa menumbuhkan cinta ini padamu. Maaf, untuk saat ini, aku belum bisa membalas pernyataan itu padamu. Bukan aku tidak menyukaimu, bukan aku tidak nyaman ada disampingmu. Justru aku merasa nyaman ada didekatmu, kamu menyenangkan, sungguh. Tapi sekali lagi, aku butuh waktu, itu saja. Jangan pergi dulu, kalau memang kamu sungguh mencintaiku, aku yakin, kamu akan memberiku waktu. Memang, menunggu itu menyebalkan, aku pun pernah merasakannya. Tapi, jika menunggu untuk hal yang nyata, cobalah. Menunggumu, bukan hanya kamu yang ingin, tapi aku yang meminta. Bukankah kamu pernah berkata, kamu akan menuruti pintaku, asal aku bahagia? Aku tidak ingin kehilanganmu, tapi aku masih butuh waktu untuk mengosongkan hatiku dari untaian nama masa lalu. Jujur, aku masih menaruh rasa padanya, seseorang dari masa laluku. Oleh sebab itu, aku ingin membuangnya dulu dari hatiku, dengan menjalani kisah baruku ini. Aku tidak ingin, kamu hanya menjadi sekedar pelarianku. Aku ingin kamu menjadi yang benar-benar mengisi hatiku yang nanti akan benar-benar kosong.

Maaf, aku bukannya ingin memberimu harapan palsu, tapi aku hanya ingin memberimu cinta yang yang nyata, yang bukan hanya sekedar tempat pelarian dari masa laluku. Aku akan belajar mencintaimu, namun untuk ikatan cinta, aku masih belum siap, aku belum berani. Bantu aku, agar aku bisa memberikan hatiku padamu sepenuhnya.

Rabu, 14 Januari 2015

Hanya dalam Imajinasiku.



Bagiku, mencintainya adalah sebuah pilihan. Pilihan untuk menetapkan reaksi hati saat dia ternyata tak pernah bisa mempunyai perasaan yang sama. Pilihan tuk tetap bersikap seakan semua baik-baik saja, saat aku harus melihatnya bersama wanita lain yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Yah, pilihan tuk siap menyakiti diri sendiri. Namun rasa sakit kadang membuatku gila, bahkan semakin menggilainya. Tapi, rasa sakit itu akan terobati, saat aku bisa melihat senyumnya. Walau aku harus melihatnya bermesraan dengan wanitanya. Hanya demi melihat senyum itu, aku harus menahan sakit lagi, dan lagi. Namun, hanya itu obat untuk mengobati rindu bisu ini. 


Aku juga punya cara lain, dimana saat sekian lama aku tak melihat senyum itu, dimana saat aku mencarinya, namun tak kunjung ku temui sosok itu. Saat itulah aku seakan seperti orang gila. Menggunakan imajinasi berlebihan ini dalam otakku. Berimajinasi tuk hidup bersamanya. Membayangkan bagaimana aku dan dia tertawa bersama, menghabiskan waktu dan menikmati dunia bersama. Kadang, aku juga membayangkan, saat dia lemah, aku selalu ada disampingnya. Aku juga bisa membayangkan, dia meninggalkan wanitanya, lalu memilihku. Seakan dia seutuhnya milikku.


Bodoh bukan ? bahkan ini bisa disebut gila! Tapi, inilah caraku untuk mengobati hati. Caraku tuk bisa memilikinya seutuhnya. Caraku tuk bisa merasakan bagaimana bahagianya aku bila bersamanya. Dan caraku tuk membahagiakan diri sendiri. Walau hanya dalam bayang semuku yang takkan mampu ku jadikan nyata. Karna sesungguhnya, aku sangat ingin memilikinya. Aku sangat mencintainya. Bahkan tlah lama waktu berlalu untuk mencintainya dalam diam, tuk memilikinya dalam imajinasi bodohku ini.

Minggu, 23 November 2014

Merindunya



Mungkin kata rindu memang tak ada habisnya untuk seseorang yang terlanjur jatuh cinta. 
Rindu... kata yang tidak lagi asing untuk setiap perindu. 
Rindu... ungkapan yang kadang tak pernah mempunyai akhir. 
Dan rindu, hal yang selalu aku rasakan. 
Aku bukan perindu, tapi aku selalu merindukannya. 
Sebab rinduku tak pernah punya tujuan yang pasti.
 Rinduku selalu hanya sampai kata ‘ingin’. 
Ya, ingin melihatnya.
 Tapi nyatanya, rinduku tak pernah bisa melihatnya, tak pernah sampai memeluknya. 
Rinduku hanya sampai diujung suara yang tak pernah dia dengar. 
sebab, rinduku hanya sebatas rindu pada seseorang yang tak pernah mengharapkanku.